Tuesday, February 8, 2022

Prolog

Prolog

PROLOG 

             Matilah engkau mati

Kau akan lahir berkali-kali....


Sang Penyair pernah menulis sebait puisi ini di atas secarik kertas lusuh. Saat itu dia masih berambut panjang menggapai pundak dan bersuara parau karena banyak berorasi di hadapan buruh. Ia menyelipkannya ke dalam sebuah buku tulis bersam­ pul hitam dan mengatakan itulah hadiah darinya untuk ulang tahunku yang ke­25. Sembari mengepulkan asap rokoknya yang menggelung­gelung ke udara, dia mengatakan aku harus selalu bangkit, meski aku mati.

Tetapi hari ini, aku akan mati.

aku tak tahu apakah aku bisa bangkit.

Setelah hampir tiga bulan disekap dalam gelap, mereka membawaku ke sebuah tempat. Hitam. Kelam. Selama tiga bulan mataku dibebat kain apak yang hanya sesekali dibuka saat aku berurusan dengan tinja dan kencing.

aku ingat pembicaraanku dengan Sang Penyair. Dia berkata bahwa dia tak takut pada gelap. Karena dalam hidup, ada terang dan ada gelap. ada perempuan dan ada lelaki. “Gelap adalah bagian dari alam,” kata Sang Penyair. Tetapi jangan sampai kita mencapai titik kelam, karena kelam adalah tanda kita sudah menyerah. Kelam adalah sebuah kepahitan, satu titik ketika kita merasa hidup tak bisa dipertahankan lagi.

Aku tak tahu apakah saat ini aku sedang mengalami ke­ gelapan. atau kekelaman.

Mataku dibebat. Tanganku diborgol. apakah ini gelap yang kelak menjadi pagi yang lamat­lamat mengurai cahaya matahari pagi; atau gelap seperti sumur yang tak menjanjikan dasar?

Selama sejam kami berputar­putar, aku sudah bisa menebak ada empat lelaki yang mendampingiku. Setelah berbulan­bulan mereka sekap di tempat yang gelap, aku sudah mulai mengenal bau tubuh mereka. Satu lelaki menyetir yang jarang bersuara. Seseorang di sebelahnya jarang mengeluarkan komentar kecuali jika harus membentak kedua lelaki yang mengapit di kiri kananku di kursi belakang. Dialah si Mata Merah, satu­satunya dari mereka yang pernah kulihat wajahnya dan  kukenali  dari bau rokok kreteknya yang menghambur dari mulutnya. Di sebelah kanan dan kiriku pasti kedua lelaki besar yang biasa kusebut Manusia Pohon dan si Raksasa yang mengirim bau keringat tengik. Inilah celakanya jika sejak kecil kita diajarkan menajamkan indra penciuman karena Ibu adalah seorang koki yang dahsyat. Dalam sekejap aku bisa membedakan aroma tubuh satu orang dengan yang lainnya.

Setelah lebih dari sejam kami berada di atas mobil dengan mata yang masih ditutup dan tangan terikat,  akhirnya  si Manusia Pohon menarikku keluar mobil dan bersama yang lain menggiringku ke sebuah tempat, udara terbuka. aku ditendang agar berjalan dengan lekas. Jalan semakin menanjak dan aku mendengar debur ombak yang pecah. aku bisa mencium aroma asin laut di antara angin yang mengacak rambut. Sekali lagi, suara ombak yang deras itu pecah tak seirama. Di manakah aku?

Apakah kami masih di wilayah Jakarta?

Karena aku sering berhenti untuk mengira­ngira lokasi, se­ buah tangan besar mendorong punggungku agar aku berjalan lebih cepat. Setelah berjalan cukup jauh, kini salah satu dari mereka berteriak agar aku menaiki sebuah speedboat. Bau asin laut kembali menusuk cuping hidungku. Kudengar seseorang menyalakan motor speedboat itu. Seseorang yang lain sekali lagi menendang punggungku agar aku berlutut. Sial! Perlahan aku mencoba duduk dan tampaknya mereka tak keberatan.

Begitu saja perahu motor itu melaju. Meski wajahku masih tertutup karung, aku masih bisa merasakan cipratan air laut. angin laut terasa menyelip di antara pori­pori kain karung yang menyelimuti mukaku yang penuh darah dan luka. Pedih luka bibir dan tulang hidungku yang patah semakin menggigit karena asin air laut, tetapi angin yang menerpa itu terasa seperti sebuah pembebasan. Debar jantung semakin menggedor–gedor dada seolah ia siap mencelat keluar, tetapi aku mencoba menghadapi suara permukaan laut yang dibelahperahu motor itu.

Tak terlalu lama, perahu motor terasa melambat. Mungkin kami sudah tiba di tempat tujuan, entah pulau apa, aku tak tahu. aku dipaksa turun. agak sulit berjalan di tepi tebing dengan kaki telanjang sementara aku bisa mendengar suara ombak dari bawah sana. Sepasang kaki ini hanya setengah berfungsi karena selalu menjadi sasaran ditindas kaki meja atau ditendang hingga retak. Si Perokok berteriak dengan suara parau agar aku berjalan dengan cepat.

Perjalanan semakin menanjak. Rasanya kami menaiki sebuah bukit karang yang tak terlalu tinggi. aku masih bisa mendengar bunyi ombak yang datang dan pergi.

Deburan pertama. Deburan kedua. Terdengar langkah sepatu lars yang menginjak kerikil. Satu tangan yang besar membuka bebat kain penutup mataku dengan kasar. Dengan pandangan yang masih buram, mungkin terlalu lama menatap gelap, aku baru menyadari bahwa kami berdiri di atas bukit  karang  di  tubir pantai. Ternyata matahari belum sepenuhnya turun. Jam berapakah kini? Sudah senjakah ini? Pukul empat? Lima? Betapa kosong dan sunyi pulau ini. Kulihat serombongan burung belibis yang terbang rendah, mendekati dan mengusap permukaan laut. Kini aku mahfum. Mereka telah membawaku ke tepi pantai, ke tepi kematian.

Matilah engkau mati...

Kini mereka mengikat tanganku dengan besi pemberat. Tangan kiri. Lalu tangan kanan. Sesekali aku menggeliat, ber­ usaha mencari celah dan kemungkinan meski akan berakhir sia­ sia. aku enggan memberikan tangan dan sengaja mengeraskan kepalku. Salah satu dari mereka menabok mukaku. ah...

asinnya darah...

Kau akan mati. Demikian kata si Mata Merah dengan sem­ buran bau rokok. Tapi kau akan mati pelan­pelan. Mereka semua tertawa keras. aku mendengar kepak sayap serombongan burung. Seolah mereka ingin membesarkan hatiku.

Si Mata Merah mendorongku melangkah maju. Merekame­ nyerimpung kedua kakiku dengan besi hingga mustahil bagiku untuk bergerak. akhirnya salah satu dari mereka menendang betisku. aku tersungkur. Sekali lagi si perokok itu memegang bahuku dari belakang dan memaksaku berlutut.

Tuhan, kita semakin dekat. Kau terasa semakin ingin me­ naungiku.

Pada debur ombak yang kesembilan, terdengar ledakan itu. Tiba­tiba saja aku merasa ada sesuatu yang tajam menembus punggungku. Pedih, perih. Lalu, belakang kepalaku. Seketika aku masih merasakan sebatangkaki bersepatu gerigiyang menendang punggungku. Tubuhku ditarik begitu lekas oleh arus dan bola besi yang terikat pada pergelangan kakiku.

Aku melayang­layang ke dasar lautan.

Aku selalu menyangka, pada saat kematian tiba, akan ada gempa atau gunung meletus dan daun­daun gugur. aku mem­ bayangkan dunia mengalami separuh kiamat. Mungkin tak sedahsyat yang digambarkan cerita para orang tua, namun air laut akan naik dan merayap menutupi bumi. Manusia, binatang, dan segala makhluk hidup akan tenggelam. Karena itu, aku mengira begitu aku tenggelam, kematianku akan menghasilkan guncangan besar. atau bak Dewi Kali yang perlahan menarik nyawaku dari tubuh seperti seuntai benang yang perlahan­lahan ditarik dari sehelai kain tenun. Tenang tapi menghasilkan rasa yang tak seimbang.

Ternyata itu hanya ilusi. Kematianku tak lebih seperti saat seorang penyair menuliskan tanda titik pada akhir kalimat sajaknya. atau seperti saat listrik mendadak mati.

Hening. Begitu sunyi. Begitu sepi. aku tak relevan lagi.

Mungkin ini hanya imajinasi, tetapi aku mendengar cericit burung. Mungkin mereka tengah merubung dan menggangsir permukaan laut, sementara aku tenggelam ke dasar laut mengi­ kuti sentakan besi yang memberati kaki. Burung­burung itu men­ celupkan kepala ke dalam laut dan menjengukku, mengucapkan selamat jalan sembari mencoba menjaga agar aku bisa mencapai dasar laut dengan tenang.

Begitu saja, berkat doa para burung, aku sudah berada di dasar laut. Dan begitu saja, ketika aku merasa dirubung oleh ratusan ikan dara, ikan sersan mayor, lantas kepalaku berdebam keras di atas salah satu koral otak. Mereka, rombongan ikan itu menciumku, mungkin merasa belas kasih kepada mayat yang begitu sia­sia.

Ini pasti sebuah ilusi, karena aku mendengar alunan musik, mencium aroma masakan Ibu; aku mendengar suara Kinan berdebat dengan Daniel; suara Sunu yang mencoba menengahi; suara anjani yang halus mengusap telinga yang kemudian tergilas oleh nyaringnya suara asmara. Itu semua perlahan menghilang tergantikan suara langkah Bapak yang perlahan­lahan menuju dapur sambil menanyakan apa yang sedang dimasak Ibu.

Lalu muncul kelebatan wajah Kinan yang memandangku dengan sepasang matanya yang kecil dan menyemprotkan sinar. Lantas muncul kelebatan wajah Sunu, alex, Daniel, dan anjani. Entah mengapa aku melihat mereka semua di Rumah Hantu, di Seyegan, di pojok Yogyakarta.

Semua berbaur, saling berkelebatan seperti sebuah pemu­ taran ilm hitam putih yang dipercepat.

Aku merasakan arus bawah laut itu berputar­putar meme­ lukku. Begitu erat,begitu hangat, seolahaku adalah bagiandari laut ini.

Mungkin itu sebabnya Ibu dan Bapak memberiku  nama  Biru Laut.

Semakin dalam, entah berapa ribu meter aku melayang me­ nuju dasar.

Dan akhirnya tubuhku  berdebam  melekat  ke  dasar  laut,  di antara karang dan rumput laut disaksikan serombongan ikan­ikan kecil yang tampaknya iba melihatku. aku menyadari: aku telah mati. Tubuhku akan berada di dasar laut ini selama­ lamanya, dan jiwaku telah melayang entah ke mana. Sementara ikan­ikan biru, kuning, ungu, jingga mencium pipiku; seekor kuda laut melayang­layang di hadapanku, aku mendengar suara ketukan yang keras. Sebuah ketukan pada sebilah papan kayu….

Bapak, Ibu, asmara, anjani, dan kawan­kawan...dengarkan ceritaku….